Saturday, February 23, 2013

crazy litle thing called love versi guee



gak tau deh nih cerita udah pasaran atau nggak.
yang pasti gue malah nulis nih cerita di saat gue seharusnya nulis dan ngerjain hal lain yang masih numpuk.
selamat membaca :)



Percaya atau tidak, dimanapun kita berada, disekolah, di kantor, di tempat les dan dimanapun. Kita pasti akan bertemu dengan satu orang yang paling menyebalkan, paling sering membuat kesal dan paling tidak disukai oleh hampir semua orang.
Gangguan dari orang itu memang pasti akan berakhir ketika kita pindah ketempat lain, sialnya, aku memiliki satu orang menyebalkan yang sama sejak aku SMP sampai SMA. Dan entah bagaimana, hari itu aku kembali dipertemukan dengan jenis orang yang baru saja kubicarakan.
Aku hendak pulang kerumah setelah memastikan bahwa cafe ini berjalan dengan baik, tiba – tiba saja aku berpapasan dengan seseorang yang aku rasa aku kenal. Hanya saja tampilannya berbeda. Membuatku sedikit ragu bahwa itu adalah dia.
Aku masih ingat jelas bagaimana dia berpakaian saat di SMA, baju tidak di masukkan, bahkan tidak jarang dia melepas semua kancing kancingnya, tidak pernah memakai sepatu hitam, selalu datang terlambat dan yang paling mencolok adalah, selalu berambut gondrong.
Aku yakin aku pasti salah orang. Karena laki – laki yang baru saja berpapasan denganku adalah laki laki dengan rambut cepak, memakai stelan jas rapi dan memakai pantople hitam yang mengkilap.
Langkahku terhenti untuk beberapa saat, memikirkan apa aku benar atau salah. Kuputuskan untuk berbalik untuk memastikan.
Ketika aku berbalik, tanpa kuduga diapun berbalik.
“lo!” ujar kami saling tunjuk satu sama lain bersamaan.
“hey!” sapa nya dengan senyum ramah.
“ngapain lo disini?” balasku ketus, sama sekali tidak berminat menanggapi sapaan ramahnya.
“elo yang ngapain disini? Gue si yaaa mau beli kopi aja..”
“oh! Ok, bye!” aku sama sekali tidak berminat untuk berbicara panjang lebar lagi dengannya, akupun berlalu.
***
Beberapa hari kemudian..
Aku sedang menggantikan Irina yang tidak bisa datang karena sedang sakit tipfus. Aku berdiri dibalik mesin kasir. Awalnya semua baik – baik saja, sampai akhirnya dia muncul.
“hey!” sapanya, lagi – lagi bertingkah ramah, membuatku sedikit risih.
Aku hanya memberinya sedikit senyum, “mau pesen apa?”
Dia mendekatkan kepalanya dihadapanku, “bisa ngobrol sebentar gak?” bisiknya.
Aku hanya menatapnya tak berminat, “bisa langsung aja? Mau pesen apa? Ngantri tuh!”
Dia kembali mundur, lalu melirik kebelakang dan sedikit terkehkeh. “capucino.” Ujarnya singkat.
***
Beberapa minggu setelah itu, aku selalu bertemu dengannya di kafe. Entah bagaimana caranya. Dia seperti sudah sangat hafal jadwalku datang untuk mengecek ketempat ini.
“lo lagi?!” erangku ketika kami berpapasan di pintu masuk. “lo ngikutin gue atau apa?”
“loh?” dia menaikan sebelah alisnya, “gue kerja di hotel ini, dan cafe ini letaknya disini, jadi makan siang paling deket kalo gue lagi bosen makanan hotel, ya disini!” bebernya.
“lo emang berbakat jadi OB, udah keliatan dari jaman SMP.” Ujarku ketus sambil lalu.
“Aster!” serunya, “bisa kita ngobrol sebentar? Kita kan udah lama nggak ketemu..”
Aku berbalik, “sorry, gue lagi banyak kerjaan.”
***
Setelah beberapa hari tidak muncul, akhirnya aku kembali melihatnya di salah satu sudut kafe, bedanya hari ini dia datang bersama beberapa orang teman yang memakai stelan sama, jas, dasi, pantople. Entah jenis pekerjaan apa yang dia kerjakan dihotel ini, dan entah bagaimana orang serampangan seperti dia mendapatkan pekerjaan tersebut.
Aku berusaha tidak menghiraukannya. Tapi, setelah beberapa bulan terus dihantui olehnya rasanya aneh juga jika satu hari kulalui tanpa gangguan darinya. Seperti ada yang kurang.
Sudahlah, dia hanya hama pengganggu.
“samperin aja kali!” Irina tiba-tiba saja datang dan dengan sengaja menabrakan bahunya dengan bahuku.
Aku menatapnya kesal.
“kehilangan kan lo!
“apaan sih?”erangku.
Irina terkikik, lalu pergi meninggalkan aku.
***
Siang ini aku duduk disalah satu sudut kafe, ditemani segelas milkshake dan sebuah novel. Semuanya berjalan biasa saja sampai tiba – tiba dia muncul dihadapanku.
“boleh gabung?”
Aku menatapnya aneh untuk beberapa saat, dan setelah di pikir pikir mungkin aku terlalu kelewat jahat tidak mau menerima sikap baiknya selama ini. Maka, siang itu aku menggukan kepala.
Tapi, membiarkan dia duduk bersamaku bukan berarti kami berdamai dan bisa mengobrol santai seperti pengunjung lainnya. Aku,hanya terus membaca tanpa menegurnya sedikitpun.
“bisa ngobrol sebentar..?” tanyanya ragu, sambil menarik turun novel yang sedang kubaca.
Untuk beberapa saat, kuhabiskan untuk berpikir dan menimbang nimbang. Sampai akhirnya kuputuskan untuk memberi sedikit kesempatan perdamaian untuknya.
            Kuihat dia tersenyum senang, walaupun semuanya sudah berubah, tapi senyum nya tetap sama.
“ehm.. gue gak tau ini saat yang tepat atau nggak buat bicarain ini sama lo..” dia diam untuk beberapa saat, “sebenernya dari pertama kita ketemu, waktu kita dihukum nari tori – tori di hari ke dua ospek SMP karna kita ketauan bawa hp-”
“bisa to the point aja?” sergahku.
Dia menghela nafas, lalu menatapku untuk beberapa saat. “gue suka sama lo. Gue sayang, cinta dan atau apalah itu lo nyebutnya.”
Detik itu juga aku diam, tak bisa mengatakan apapaun. Sebagian besar pikiranku berkata bahwa ini hanya mimpi atau dia baru saja salah memakan suatu obat yang membuatnya bicara ngawur.
“lo pasti bingung. Gue juga bingung harus gimana ngejelasinnya!” dia terlihat frustasi karena aku terlihat sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dia bicarakan, seolah dia berbicara dengan bahasa alien. “gue tau pasti kalo gue itu sama sekali bukan tipe lo. Jelas! Dan gue tau banget kalo lo itu gak mungkin banget ngelirik gue.”
Aku masih diam, dan dia mulai gelisah.
“ok! sorry, kalau dulu gue sering banget jailin lo! Tapi jujur aja itu karena gue suka sama lo, gue jaillin lo atau temen – temen lo Cuma biar lo merhatiin gue. Biar gue bisa ngomong sama lo! Yaaa walaupun lo ngomong sama gue nya sambil teriak teriak dan emosi tingkat tinggi.. tapi itu udah bikin gue semangat buat dateng kesekolah tiap pagi.”
Dia mencuri pandang padaku, tapi aku masih tidak menghiraukannya.
“karna gue tau, gue gak akan bisa bikin lo cinta sama gue, jadi gue bikin lo benci sama gue.. lo tau kan? Benci sama Cinta itu sama aja? Maksudnya kan kalo lo cinta sama seseorang, lo akan mikirin dia terus, dan kalo lo benci sama seseorang lo juga pasti akan merhatiin orang itu. Apapun yang di lakuin sama orang yang lo benci  nantinya pasti akan lo gosipin sama temen temen lo!”
Dia menggaruk garuk kepala, terlihat benar benar gelisah, bingung, canggung dan lainnya.
“yeah.. di film juga banyak kan, yang tadinya mereka musuh bebuyutan tapi endingnya mereka saling jatuh cinta.” Dia menatapku, “sebenernya gue mau ngomongin ini  sama lo dihari kelulusan kita. Tapi ternyata, gue ketinggalan berita kalau lo dapet beasiswa di singapur dan hari itu lo udah pergi. Gue putus asa. Gak tau harus cari lo kemana.”
Dia kembali menunduk, tapi kemudian kembali mengangkat dagu dan tersenyum. “gue gak tau ini takdir atau musibah buat lo ketemu gue, yang pasti ini anugrah buat gue.”
Aku menghela, “udah ceritanya? Sorry, gue ada kerjaan. Bye!” aku pergi meninggalkannya.
Otakku kosong, semuanya terlalu mengejutkan.
***
Sejak hari itu aku tidak pernah lagi menemukannya datang ke kafe. Apa aku kelewatan? Sehingga membuatnya membenciku? Atau dia putus asa dan bunuh diri? Tidak. Tidak mungkin!
 “woy!” Irina mengejutkanku, “nglamun aja! Ksambet lo!”
Aku hanya meliriknya, lalu kembali menatap pintu masuk cafe.
“apa sih lo!” erangku, menatap garang Irina yang sedang menatapku tanpa berkedip.
“engga..” dia menggeleng geleng, lalu pergi mengantarkan sebuah pesanan kesalah satu meja yang biasanya ditempati dia.
“dia gak akan dateng! Gak usah diliatin terus tuh pintu!” gurau Irina.
Aku berbalik dan menatapnya kesal, “terus?”
“yaaa ngasih tau aja siihh..” ujarnya.
 “penting gitu buat guee?” kataku sambil berlalu, menuju dapur untuk men-check keadaan disana. “apa lo liat liat!” kataku pada seorang penjaga kasir yang menatapku seperti tatapan Irina tadi.
Apa – apaan mereka itu?!
Setelah memastikan tak ada masalah apapun seperti biasanya aku kembali ke meja kasir dan membuat secangkir kopi untukku sendiri.
“tadi Saga kesini..sekitar jam sepuluh gitu deh. Katanya dia mau ke batam.”
Kulirik Irina dengan alis terangkat, “urusannya sama gue?”
Irin mengangkat bahunya, “yaaa tadi dia Cuma titip pesen aja, katanya suruh sampein kalo dia mau ke batam.”
“so penting banget sih tuh orang!”
Aku berjalan menuju sebuah sofa, untuk menikmati secangkir kopi buatan ku sendiri, biasanya dia disana, menghabiskan waktunya dengan secangkir kopi dan laptonya.
“oh iya!” Irina membuatku berhenti, “nih!” dia memberiku secarik kertas, “katanya kalo kangen, telfon aja!” ujar Irina sambil menahan tawanya.
“what theee..?” aku berlalu, dan tentu saja tidak mengambil kertas itu.
Aku salah besar jika berpikir bahwa dia sudah berubah. Dia tetap menyebalkan dan memiliki tingkat kepercayaan diri yang tak ada batasnya. Tapi apa yang dia lakukan di batam? Kenapa begitu mendadak? Apa ada sesuatu? Dia udah  makan belum ya?
Cukup! Lo mikir apa sih! Gak penting banget!
Dia adalah seorang laki – laki dewasa. Pasti bisa lah taking care of himself!
Ugh! Aku menggeram sendiri, lalu berjalan menuju meja kasir tempat Irina. Aku hanya diam, sementara mataku bergerilya mencari secarik kertas tadi.
Damn! Dimana kertas itu?!
Irina menyodorkan secarik kertas itu kehadapanku.
“maksud nyaa?” kutatap kesal Irina.
“mba nyari ini kan?”
Aku memutar bola mataku “you gotta be kidding!”, akupun berbalik setelah mengambil tisu lalu kembali ke sofaku.
Irina hanya diam, sampai aku akhirnya kembali dan dengan cepat mengambil secarik kertas itu, “gue Cuma mau tanya sama dia masih simpen buku tahunan SMA atau nggak, soalnya gue gak punya.” ujarku cepat.
Irina hanya mengangguk sambil menahan senyumnya. Aku kembali berjalan, lalu kembali berbalik pada Irina “gue tuh gak ada apa-apa sama dia! Cuma temen! Temen dari jaman SMP sampe SMA! Bukan temen juga sih toh gue berantem terus dulu! Gue-” aku mengerang, kesal dengan apa yang diriku sendiri katakan. “whatever!” aku bergegas kembali ke sofaku.
Kulirik kertas itu sekali, lalu menimbang nimbang dalam waktu yang cukup lama. Kalo gue beneran telfon, gr nya pasti nambah! Makin nyebelin deh tuh anak!
“udahh telfon aja..dari pada kepikiran terus..” ujar Irina yang baru saja mengantarkan pesanan sambil lalu.
Aku memelototinya.
Ini sudah hampir jam tiga sore, hari ke tujuh sejak hari terakhir aku bertemu dengannya dan aku masih belum mendapatkan kabar. Sedikit mambuatku merasa bersalah.
Ok fine! Gue akan coba telfon sekali. Kalo gak di jawab gak akan gue telfon lagi. Kucoba mengetik nomer telfon di kertas ini.
Tuuttt..
Tak ada jawaban. Kututup. Baiklah satu kali lagi.
Dijawab.
“hello! Ini Saga, disana siapa?” jelas jelas itu dia, berbicara dengan logat ciri khas nya.
 Aku hanya diam. Irina dan karyawan lain terlihat sedang menonton ku seperti sedang menonton sebuah drama di TV. Kuputuskan untuk pergi kekamar mandi. Aku duduk diatas closet.
“heloo..?” katanya lagi. “Aster..?”
“dari mana lo tau ini gue?” kataku kesal.
Dia terkehkeh. “karna gue tau lo bakal telfon gue!”
“PD banget sih lo! Gue matiin!”
“hey! wait! Wait! Wait!” ujarnya tergesa gesa. “tadi pagi gue buru buru dateng ke kafe, tapi ternyata lo nya belum dateng makannya gue titip pesen aja sama karyawan lo! Gue di sini Cuma tiga hari ko! Ada beberapa acara gitu.. sorry juga gue gak dateng ke kafe seminggu kemaren, lagi sibuk banget soalnya.”
“emang gue nanya?”
Dia sama sekali tidak menghiraukan kata kata ku, hanya terus berbicara seolah aku tidak mengatakan apapun dan hanya mendengarkannya.
“nih gue baru sampe batam, dan tadi sempet beli burger sih pas jalan mau ke bandara..”
“penting gitu buat gue?!” kataku lagi, dan dia masih tidak menghiraukanku.
“bentar juga gue mau mampir dulu lah ke resto buat makan.. jadi, lo gak perlu khawatir.”
“males banget!” lagi lagi dia acuh.
“gue-”
 “Ga!” aku setengah berteriak, memotong kalimanya. “gak penting banget sih lo ngomong!”
“yaa lo nelfon gue buat nanyain itu kan?” jawabnya.
“gak penting banget! Gue kan Cuma mau tanya..”
“tanya apa?” katanya lembut.
“tanya..” aku baru sadar kalau ternyata pertanyaanku sudah dijawab semua olehnya. “GAK JADI!’ erangku, seraya mematikan telfon.
Syukurlah kalau dia baik baik saja..
***
Tiga hari kemudian..
Aku duduk santai di kafe, kemudian tanpa diduga seseorang meletakkan sebuah buku harian kusam di meja tempat ku duduk. Mataku terbelalak, aku langsung mendongak dan tambah terkejut ketika aku melihat Saga sedang berdiri disana menatapku dengan senyuman hangat.
“kaka lo yang kasih ke gue pas gue nekat datengin rumah lo!” ujarnya singkat, kemudian duduk di sofa dihadapanku. “sayangnya, pas mau gue balikin, ternyata keluarga lo juga pindah rumah, jadi sekarang gue balikin aja ke lo!”
Aku bisa merasakan wajahku yang merah padam.
“gak sopan!”
“udah lahh.. gak usah so jutek gitu lagi!” dia pindah duduk disampingku, menarik sofanya lebih dekat dengan sofa ku.
“gue janji gak akan nyebelin lagi.. lo liatkan gue kaya apa sekarang? Gue gak serampangan lagi, lo maunya gue kaya gini kan?”
Aku tertegun, mengingat isi dari buku harian itu. Sebagian besar isi dari buku itu adalah tentang betapa aku menyukainya, dan harapanku padanya. Baru ku sadari, bahwa dia sekarang adalah dia harapanku dulu.
“gue janji gak akan bilang siapapun!”
Aku tersipu malu, sangat malu.
“udaaah.. gak usah so’ malu gitu! Biasanya juga lo malu maluin.” sergahnya.
Lalu kami tertawa. Sejak hari itu, kami tak terpisahkan, tak ada lagi teriakan teriakan kesal, tak ada lagi kemarahan yang meledak ledak. Semuanya berubah menjadi indah.
Nobody knows whats future bring. Aku percaya takdir itu ada, dan semua harapan pasti bisa jadi kenyataan.

0 komentar: