gak tau deh nih cerita udah pasaran atau nggak.
yang pasti gue malah nulis nih cerita di saat gue seharusnya nulis dan ngerjain hal lain yang masih numpuk.
selamat membaca :)
Percaya
atau tidak, dimanapun kita berada, disekolah, di kantor, di tempat les dan
dimanapun. Kita pasti akan bertemu dengan satu orang yang paling menyebalkan,
paling sering membuat kesal dan paling tidak disukai oleh hampir semua orang.
Gangguan
dari orang itu memang pasti akan berakhir ketika kita pindah ketempat lain, sialnya,
aku memiliki satu orang menyebalkan yang sama sejak aku SMP sampai SMA. Dan entah
bagaimana, hari itu aku kembali dipertemukan dengan jenis orang yang baru saja
kubicarakan.
Aku
hendak pulang kerumah setelah memastikan bahwa cafe ini berjalan dengan baik,
tiba – tiba saja aku berpapasan dengan seseorang yang aku rasa aku kenal. Hanya
saja tampilannya berbeda. Membuatku sedikit ragu bahwa itu adalah dia.
Aku
masih ingat jelas bagaimana dia berpakaian saat di SMA, baju tidak di masukkan,
bahkan tidak jarang dia melepas semua kancing kancingnya, tidak pernah memakai
sepatu hitam, selalu datang terlambat dan yang paling mencolok adalah, selalu
berambut gondrong.
Aku
yakin aku pasti salah orang. Karena laki – laki yang baru saja berpapasan
denganku adalah laki laki dengan rambut cepak, memakai stelan jas rapi dan
memakai pantople hitam yang mengkilap.
Langkahku
terhenti untuk beberapa saat, memikirkan apa aku benar atau salah. Kuputuskan
untuk berbalik untuk memastikan.
Ketika
aku berbalik, tanpa kuduga diapun berbalik.
“lo!”
ujar kami saling tunjuk satu sama lain bersamaan.
“hey!”
sapa nya dengan senyum ramah.
“ngapain
lo disini?” balasku ketus, sama sekali tidak berminat menanggapi sapaan
ramahnya.
“elo
yang ngapain disini? Gue si yaaa mau beli kopi aja..”
“oh!
Ok, bye!” aku sama sekali tidak berminat untuk berbicara panjang lebar lagi
dengannya, akupun berlalu.
***
Beberapa
hari kemudian..
Aku
sedang menggantikan Irina yang tidak bisa datang karena sedang sakit tipfus.
Aku berdiri dibalik mesin kasir. Awalnya semua baik – baik saja, sampai
akhirnya dia muncul.
“hey!”
sapanya, lagi – lagi bertingkah ramah, membuatku sedikit risih.
Aku
hanya memberinya sedikit senyum, “mau pesen apa?”
Dia
mendekatkan kepalanya dihadapanku, “bisa ngobrol sebentar gak?” bisiknya.
Aku
hanya menatapnya tak berminat, “bisa langsung aja? Mau pesen apa? Ngantri tuh!”
Dia
kembali mundur, lalu melirik kebelakang dan sedikit terkehkeh. “capucino.” Ujarnya
singkat.
***
Beberapa
minggu setelah itu, aku selalu bertemu dengannya di kafe. Entah bagaimana
caranya. Dia seperti sudah sangat hafal jadwalku datang untuk mengecek ketempat
ini.
“lo
lagi?!” erangku ketika kami berpapasan di pintu masuk. “lo ngikutin gue atau
apa?”
“loh?”
dia menaikan sebelah alisnya, “gue kerja di hotel ini, dan cafe ini letaknya
disini, jadi makan siang paling deket kalo gue lagi bosen makanan hotel, ya
disini!” bebernya.
“lo
emang berbakat jadi OB, udah keliatan dari jaman SMP.” Ujarku ketus sambil
lalu.
“Aster!”
serunya, “bisa kita ngobrol sebentar? Kita kan udah lama nggak ketemu..”
Aku
berbalik, “sorry, gue lagi banyak kerjaan.”
***
Setelah
beberapa hari tidak muncul, akhirnya aku kembali melihatnya di salah satu sudut
kafe, bedanya hari ini dia datang bersama beberapa orang teman yang memakai
stelan sama, jas, dasi, pantople. Entah jenis pekerjaan apa yang dia kerjakan
dihotel ini, dan entah bagaimana orang serampangan seperti dia mendapatkan
pekerjaan tersebut.
Aku
berusaha tidak menghiraukannya. Tapi, setelah beberapa bulan terus dihantui
olehnya rasanya aneh juga jika satu hari kulalui tanpa gangguan darinya.
Seperti ada yang kurang.
Sudahlah,
dia hanya hama pengganggu.
“samperin
aja kali!” Irina tiba-tiba saja datang dan dengan sengaja menabrakan bahunya
dengan bahuku.
Aku
menatapnya kesal.
“kehilangan
kan lo!
“apaan
sih?”erangku.
Irina
terkikik, lalu pergi meninggalkan aku.
***
Siang
ini aku duduk disalah satu sudut kafe, ditemani segelas milkshake dan sebuah
novel. Semuanya berjalan biasa saja sampai tiba – tiba dia muncul dihadapanku.
“boleh
gabung?”
Aku
menatapnya aneh untuk beberapa saat, dan setelah di pikir pikir mungkin aku
terlalu kelewat jahat tidak mau menerima sikap baiknya selama ini. Maka, siang
itu aku menggukan kepala.
Tapi,
membiarkan dia duduk bersamaku bukan berarti kami berdamai dan bisa mengobrol
santai seperti pengunjung lainnya. Aku,hanya terus membaca tanpa menegurnya
sedikitpun.
“bisa
ngobrol sebentar..?” tanyanya ragu, sambil menarik turun novel yang sedang
kubaca.
Untuk
beberapa saat, kuhabiskan untuk berpikir dan menimbang nimbang. Sampai akhirnya
kuputuskan untuk memberi sedikit kesempatan perdamaian untuknya.
Kuihat dia tersenyum senang, walaupun
semuanya sudah berubah, tapi senyum nya tetap sama.
“ehm..
gue gak tau ini saat yang tepat atau nggak buat bicarain ini sama lo..” dia
diam untuk beberapa saat, “sebenernya dari pertama kita ketemu, waktu kita
dihukum nari tori – tori di hari ke dua ospek SMP karna kita ketauan bawa hp-”
“bisa
to the point aja?” sergahku.
Dia
menghela nafas, lalu menatapku untuk beberapa saat. “gue suka sama lo. Gue
sayang, cinta dan atau apalah itu lo nyebutnya.”
Detik
itu juga aku diam, tak bisa mengatakan apapaun. Sebagian besar pikiranku
berkata bahwa ini hanya mimpi atau dia baru saja salah memakan suatu obat yang
membuatnya bicara ngawur.
“lo
pasti bingung. Gue juga bingung harus gimana ngejelasinnya!” dia terlihat
frustasi karena aku terlihat sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dia bicarakan,
seolah dia berbicara dengan bahasa alien. “gue tau pasti kalo gue itu sama
sekali bukan tipe lo. Jelas! Dan gue tau banget kalo lo itu gak mungkin banget
ngelirik gue.”
Aku
masih diam, dan dia mulai gelisah.
“ok!
sorry, kalau dulu gue sering banget jailin lo! Tapi jujur aja itu karena gue
suka sama lo, gue jaillin lo atau temen – temen lo Cuma biar lo merhatiin gue.
Biar gue bisa ngomong sama lo! Yaaa walaupun lo ngomong sama gue nya sambil
teriak teriak dan emosi tingkat tinggi.. tapi itu udah bikin gue semangat buat
dateng kesekolah tiap pagi.”
Dia
mencuri pandang padaku, tapi aku masih tidak menghiraukannya.
“karna
gue tau, gue gak akan bisa bikin lo cinta sama gue, jadi gue bikin lo benci
sama gue.. lo tau kan? Benci sama Cinta itu sama aja? Maksudnya kan kalo lo
cinta sama seseorang, lo akan mikirin dia terus, dan kalo lo benci sama
seseorang lo juga pasti akan merhatiin orang itu. Apapun yang di lakuin sama
orang yang lo benci nantinya pasti akan lo
gosipin sama temen temen lo!”
Dia
menggaruk garuk kepala, terlihat benar benar gelisah, bingung, canggung dan
lainnya.
“yeah..
di film juga banyak kan, yang tadinya mereka musuh bebuyutan tapi endingnya
mereka saling jatuh cinta.” Dia menatapku, “sebenernya gue mau ngomongin
ini sama lo dihari kelulusan kita. Tapi
ternyata, gue ketinggalan berita kalau lo dapet beasiswa di singapur dan hari
itu lo udah pergi. Gue putus asa. Gak tau harus cari lo kemana.”
Dia
kembali menunduk, tapi kemudian kembali mengangkat dagu dan tersenyum. “gue gak
tau ini takdir atau musibah buat lo ketemu gue, yang pasti ini anugrah buat
gue.”
Aku
menghela, “udah ceritanya? Sorry, gue ada kerjaan. Bye!” aku pergi
meninggalkannya.
Otakku
kosong, semuanya terlalu mengejutkan.
***
Sejak
hari itu aku tidak pernah lagi menemukannya datang ke kafe. Apa aku kelewatan?
Sehingga membuatnya membenciku? Atau dia putus asa dan bunuh diri? Tidak. Tidak
mungkin!
“woy!” Irina mengejutkanku, “nglamun aja!
Ksambet lo!”
Aku
hanya meliriknya, lalu kembali menatap pintu masuk cafe.
“apa
sih lo!” erangku, menatap garang Irina yang sedang menatapku tanpa berkedip.
“engga..”
dia menggeleng geleng, lalu pergi mengantarkan sebuah pesanan kesalah satu meja
yang biasanya ditempati dia.
“dia
gak akan dateng! Gak usah diliatin terus tuh pintu!” gurau Irina.
Aku
berbalik dan menatapnya kesal, “terus?”
“yaaa
ngasih tau aja siihh..” ujarnya.
“penting gitu buat guee?” kataku sambil
berlalu, menuju dapur untuk men-check keadaan disana. “apa lo liat liat!”
kataku pada seorang penjaga kasir yang menatapku seperti tatapan Irina tadi.
Apa – apaan mereka
itu?!
Setelah memastikan tak
ada masalah apapun seperti biasanya aku kembali ke meja kasir dan membuat
secangkir kopi untukku sendiri.
“tadi Saga
kesini..sekitar jam sepuluh gitu deh. Katanya dia mau ke batam.”
Kulirik Irina dengan alis
terangkat, “urusannya sama gue?”
Irin mengangkat bahunya,
“yaaa tadi dia Cuma titip pesen aja, katanya suruh sampein kalo dia mau ke
batam.”
“so penting banget sih
tuh orang!”
Aku berjalan menuju
sebuah sofa, untuk menikmati secangkir kopi buatan ku sendiri, biasanya dia disana,
menghabiskan waktunya dengan secangkir kopi dan laptonya.
“oh iya!” Irina
membuatku berhenti, “nih!” dia memberiku secarik kertas, “katanya kalo kangen,
telfon aja!” ujar Irina sambil menahan tawanya.
“what theee..?” aku
berlalu, dan tentu saja tidak mengambil kertas itu.
Aku salah besar jika
berpikir bahwa dia sudah berubah. Dia tetap menyebalkan dan memiliki tingkat
kepercayaan diri yang tak ada batasnya. Tapi apa yang dia lakukan di batam? Kenapa
begitu mendadak? Apa ada sesuatu? Dia udah
makan belum ya?
Cukup! Lo mikir apa
sih! Gak penting banget!
Dia adalah seorang laki
– laki dewasa. Pasti bisa lah taking care of himself!
Ugh! Aku menggeram
sendiri, lalu berjalan menuju meja kasir tempat Irina. Aku hanya diam,
sementara mataku bergerilya mencari secarik kertas tadi.
Damn! Dimana kertas
itu?!
Irina menyodorkan
secarik kertas itu kehadapanku.
“maksud nyaa?” kutatap
kesal Irina.
“mba nyari ini kan?”
Aku memutar bola mataku
“you gotta be kidding!”, akupun berbalik setelah mengambil tisu lalu kembali ke
sofaku.
Irina hanya diam,
sampai aku akhirnya kembali dan dengan cepat mengambil secarik kertas itu, “gue
Cuma mau tanya sama dia masih simpen buku tahunan SMA atau nggak, soalnya gue
gak punya.” ujarku cepat.
Irina hanya mengangguk
sambil menahan senyumnya. Aku kembali berjalan, lalu kembali berbalik pada
Irina “gue tuh gak ada apa-apa sama dia! Cuma temen! Temen dari jaman SMP sampe
SMA! Bukan temen juga sih toh gue berantem terus dulu! Gue-” aku mengerang,
kesal dengan apa yang diriku sendiri katakan. “whatever!” aku bergegas kembali
ke sofaku.
Kulirik kertas itu
sekali, lalu menimbang nimbang dalam waktu yang cukup lama. Kalo gue beneran
telfon, gr nya pasti nambah! Makin nyebelin deh tuh anak!
“udahh telfon aja..dari
pada kepikiran terus..” ujar Irina yang baru saja mengantarkan pesanan sambil
lalu.
Aku memelototinya.
Ini sudah hampir jam
tiga sore, hari ke tujuh sejak hari terakhir aku bertemu dengannya dan aku
masih belum mendapatkan kabar. Sedikit mambuatku merasa bersalah.
Ok fine! Gue akan coba
telfon sekali. Kalo gak di jawab gak akan gue telfon lagi.
Kucoba mengetik nomer telfon di kertas ini.
Tuuttt..
Tak ada jawaban.
Kututup. Baiklah satu kali lagi.
Dijawab.
“hello! Ini Saga,
disana siapa?” jelas jelas itu dia, berbicara dengan logat ciri khas nya.
Aku hanya diam. Irina dan karyawan lain
terlihat sedang menonton ku seperti sedang menonton sebuah drama di TV.
Kuputuskan untuk pergi kekamar mandi. Aku duduk diatas closet.
“heloo..?” katanya
lagi. “Aster..?”
“dari mana lo tau ini
gue?” kataku kesal.
Dia terkehkeh. “karna
gue tau lo bakal telfon gue!”
“PD banget sih lo! Gue
matiin!”
“hey! wait! Wait!
Wait!” ujarnya tergesa gesa. “tadi pagi gue buru buru dateng ke kafe, tapi ternyata
lo nya belum dateng makannya gue titip pesen aja sama karyawan lo! Gue di sini
Cuma tiga hari ko! Ada beberapa acara gitu.. sorry juga gue gak dateng ke kafe
seminggu kemaren, lagi sibuk banget soalnya.”
“emang gue nanya?”
Dia sama sekali tidak
menghiraukan kata kata ku, hanya terus berbicara seolah aku tidak mengatakan
apapun dan hanya mendengarkannya.
“nih gue baru sampe
batam, dan tadi sempet beli burger sih pas jalan mau ke bandara..”
“penting gitu buat
gue?!” kataku lagi, dan dia masih tidak menghiraukanku.
“bentar juga gue mau
mampir dulu lah ke resto buat makan.. jadi, lo gak perlu khawatir.”
“males banget!” lagi
lagi dia acuh.
“gue-”
“Ga!” aku setengah berteriak, memotong
kalimanya. “gak penting banget sih lo ngomong!”
“yaa lo nelfon gue buat
nanyain itu kan?” jawabnya.
“gak penting banget!
Gue kan Cuma mau tanya..”
“tanya apa?” katanya
lembut.
“tanya..” aku baru
sadar kalau ternyata pertanyaanku sudah dijawab semua olehnya. “GAK JADI!’
erangku, seraya mematikan telfon.
Syukurlah kalau dia
baik baik saja..
***
Tiga hari kemudian..
Aku duduk santai di kafe,
kemudian tanpa diduga seseorang meletakkan sebuah buku harian kusam di meja
tempat ku duduk. Mataku terbelalak, aku langsung mendongak dan tambah terkejut
ketika aku melihat Saga sedang berdiri disana menatapku dengan senyuman hangat.
“kaka lo yang kasih ke
gue pas gue nekat datengin rumah lo!” ujarnya singkat, kemudian duduk di sofa
dihadapanku. “sayangnya, pas mau gue balikin, ternyata keluarga lo juga pindah
rumah, jadi sekarang gue balikin aja ke lo!”
Aku bisa merasakan
wajahku yang merah padam.
“gak sopan!”
“udah lahh.. gak usah
so jutek gitu lagi!” dia pindah duduk disampingku, menarik sofanya lebih dekat
dengan sofa ku.
“gue janji gak akan
nyebelin lagi.. lo liatkan gue kaya apa sekarang? Gue gak serampangan lagi, lo
maunya gue kaya gini kan?”
Aku tertegun, mengingat
isi dari buku harian itu. Sebagian besar isi dari buku itu adalah tentang
betapa aku menyukainya, dan harapanku padanya. Baru ku sadari, bahwa dia
sekarang adalah dia harapanku dulu.
“gue janji gak akan
bilang siapapun!”
Aku tersipu malu,
sangat malu.
“udaaah.. gak usah so’
malu gitu! Biasanya juga lo malu maluin.” sergahnya.
Lalu kami tertawa. Sejak
hari itu, kami tak terpisahkan, tak ada lagi teriakan teriakan kesal, tak ada
lagi kemarahan yang meledak ledak. Semuanya berubah menjadi indah.
Nobody knows whats
future bring. Aku percaya takdir itu ada, dan semua harapan pasti bisa jadi
kenyataan.